Trophic Feeding Pada Bayi Prematur

Oleh : Restu Wijayanti

 

Nutrisi merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi tumbuh kembang bayi baru lahir. Namun, pada bayi prematur terjadi beberapa hambatan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisinya dikarenakan sistem organ pencernaan yang belum matang. Fungsi menelan dan menghisap yang belum sempurna menyebabkan bayi prematur memerlukan bantuan dalam pemberian nutrisi enteral. Perkembangan enzim yang belum sempurna, pengosongan lambung yang lebih lambat, dan toleransi rendah terhadap osmolaritas formula  akan mempengaruhi frekuensi, jumlah, dan jenis nutrisi enteral yang tersedia (Mizuno, Ueda. 2003).

Beberapa strategi pemberian minum untuk bayi prematur masih menjadi kontroversi. Sampai akhir tahun 1970, bayi prematur dianjurkan untuk puasa 24-96 jam setelah lahir. Namun kemudian diketahui bahwa pemberian enteral feeding segera setelah lahir memberikan berbagai keuntungan. Uji nutrisi enteral pada bayi prematur usia <24 jam didapatkan peningkatan berat badan dan toleransi minum yang lebih baik serta waktu pencapaian full feeding lebih cepat dibandingkan nutrisi yang diberikan pada usia lebih tua (Dorovan, Puppaa, Coyle. 2006).

Pemberian nutrisi enteral dini tersebut diawali dengan pemberian dalam jumlah minimal yang disebut sebagai trophic feeding. Pemberian awal dalam jumlah minimal inilah yang akan memfasilitasi adaptasi saluran cerna melalui stimulasi peningkatan aktivitas enzim laktase, pengeluaran hormon usus yang mendorong efek trofik sel-sel proliferatif usus dan peningkatan aliran darah sehingga atrofi usus dapat dicegah dan maturasi saluran cerna dapat tercapai (Mishra et al, 2008).

Pemberian trophic feeding 10 ml/kg BB/24 jam dapat segera dilakukan jika keadaan bayi stabil. Jika toleransi minum baik, maka jumlah minum dapat dinaikkan bertahap (10-20 ml/kgBB/hari) sambil menurunkan pemberian nutrisi parenteral (Kuzma-O Reilly B et al, 2003). Metode pemberian minum harus berdasarkan usia gestasi dan tahap perkembangan bayi. Bayi dengan usia gestasi 32-34 minggu memiliki refleks menelan cukup baik namun refleks menghisap kurang baik, sehingga ASI diperah dan diberikan menggunakan sendok, cangkir, atau pipet. Sedangkan pada bayi dengan usia gestasi <32 minggu dimana refleks menelan maupun menghisap belum baik, ASI diberikan dengan menggunakan pipa orogastrik.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat saat memberikan trophic feeding pada bayi prematur, diantaranya jumlah dan karakteristik residu lambung, posisi bayi,  temperatur susu, dan cara pemberian.

Residu lambung dapat diketahui dengan melakukan aspirasi cairan lambung dengan spuit 3 cc melalui selang OGT atau NGT (Sankar, et al, 2008). Pastikan ketepatan posisi dan kedalaman OGT/NGT saat mengukur residu lambung. Perhatikan pula karakteristik cairan lambungnya, apabila hanya udara atau mukus yang sedikit maka pemberian makanan dapat dilanjutkan sesuai rencana, namun apabila volume residu lambung >20% dari jumlah minum yang diberikan sebelumnya, mengindikasikan abnormalitas dan memerlukan evaluasi lebih lanjut (Gomella, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Sangers et al (2012) menunjukkan bahwa bayi prematur memiliki residu lambung lebih sedikit saat diposisikan miring kanan, daripada miring kiri, terlentang, atau tengkurap.

Temperatur susu pun mempengaruhi banyaknya residu lambung, seperti penelitian yang dilakukan Gonzales et al (dalam Smith 2011), bahwa menghangatkan susu sesuai suhu tubuh dapat meningkatkan toleransi minum pada bayi prematur dibandingkan dengan memberikan susu pada temperatur ruangan.

Cara pemberian minum juga perlu diperhatikan oleh perawat. Penelitian yang dilakukan Dollberg, Kuint, Mazkereth, dan Mimouni (2000) menunjukkan bahwa pemberian minum secara bolus dengan gravitasi lebih efektif meningkatkan toleransi minum pada BBLR dibandingkan dengan menggunakan infusion pump. Aliran susu yang terlalu cepat  atau disemprotkan dapat menyebabkan perut bayi membuncit, regurgitasi, aspirasi, dan muntah.

Pada akhirnya, pendokumentasian seluruh tindakan pemberian trophic feeding yang dilakukan, keadaan klinis bayi, serta respon bayi adalah hal yang tak boleh dilupakan oleh perawat. Karena selain sebagai aspek legal dalam pemberian asuhan keperawatan, dokumentasi diperlukan untuk kesinambungan asuhan mandiri maupun kolaborasi yang diberikan kepada pasien.

Leave a Reply